Belajar dari Pemikiran Paulo Feire

Belajar dari Pemikiran Paulo Feire

R. Muktiono Waspodo Mar 02, 2023 07:07 113
Belajar dari Pemikiran Paulo Feire

Belajari dari Pemikiran Paule Freire

Belajari dari Pemikiran Paule Freire

(R.Muktiono Waspodo)

 

Berbagai sumber data kita telusuri pemikiran dari Paula Feire tentang pendidikan yang menindas, dalam arti sekolah yang membuat sekat-sekat untuk seseorang bergerak, berpikir dan bebas menghadapi tantangan kehidupan. Tidak terpaku oleh aturan yang menhambat dirinya untuk beraktifitas. Mencermati pemikiran Paulo Freire, tokoh pendidikan yang sangat kontroversial. Ia menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Freire dilahirkan di Recife, sebuah kota pelabuhan  bagian selatan Brasil pada 19 September 1921. Recife merupakan sebuah kota yang terbelakang dan miskin.  Pada  tahun 1929 krisis ekonomi melanda Brasil. Orang tuanya, yang termasuk kelas menengah  terkena imbas krisis itu dan mengalami kejatuhan financial yang sangat hebat. Akibat  kondisi seperti itu, Freire terpaksa belajar mengerti apa artinya menjadi lapar bagi seorang anak sekolah. Sehingga pada umur 11 tahun, karena pengalaman yang  mendalam akan kelaparan, bertekad untuk mengabdikan kehidupannya pada perjuangan melawan kelaparan, agar anak-anak lain jangan sampai mengalami kesengsaraan yang tengah dialaminya.

Buku-bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia antara lain: Pendidikan yang Membebaskan, Belajar Bertanya, Politik Pendidikan, Kebudayaan Kekuasaan dan Pembebasan, Pendidikan Kaum Tertindas, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Dialog Bareng Paulo Freire, Sekolah Kapitalisme yang Licik, dan Pendidikan Sebagai Proses, Surat Menyurat Pedagogis Dengan Para Pendidik Guinea Bissau.

Secara filosofis, pemikiran Freire banyak dipengaruhi oleh aliran pemikiran Fenomenologi, Personalisme, Eksistensialisme, dan Marxisme. Sebagai tokoh pendidikan, ia dikenal sebagai salah satu tokoh utama Rekonstruksionisme.  Keyakinan utama seorang rekonstruksionis ialah istilah yang sering digunakan oleh Freire adalah tulisan Tom Heaney, Issues in Freirean Pedagogy, Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan . . . hold the goal of building an ideal and just social order. Efforts are directed toward establishment of a practical utopia where persons are liberated to be and become all intended to be.

George R. Knight mendaftarkan beberapa prinsip utama dari Rekonstruksionisme, yang intinya adalah: (1) Peradaban dunia sedang berada dalam krisis di mana solusi efektifnya adalah penciptaan suatu tatanan sosial yang menyeluruh: (2) Pendidikan adalah salah satu agen utama untuk melakukan rekonstruksi terhadap tatanan sosial. Oleh karenanya, seorang pendidik Rekonstruksionis harus secara aktif mendidik demi perubahan sosial. (3) Metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang bertujuan untuk mengenali dan menjawab tantangan sosial yang ada.

Dari ketiga prinsip ini dapat diketahui bahwa di dalam Rekonstruksionisme peranan pendidikan sekolah bukanlah sebagai transmitor (penyampai) kebudayaan yang bersifat pasif, sebagaimana diyakini oleh aliran-aliran yang lebih tradisional, tetapi sebagai agen yang menjadi pionir yang aktif dalam melakukan reformasi sosial. Hal ini terlihat secara jelas dalam pemikiran Freire.

Pemikiran dalam memnajukan pendidikan seringkali bercirikan pada pendkatan humanisasi, pendidikan hadap masalah (problem-posing education), konsientisasi, dialog. Masalah sentral bagi manusia adalah humanisasi. Humanisasi merupakan sesuatu hal yang wajib diperjuangkan, karena sejarah menunjukkan humanisasi dehumansisi merupakan alternative yang real.

Dehumanisasi tidak hanya mewarnai mereka yang kemanusiaannya dirampas, tetapi juga mereka yang merampasnya. Dalam perjuangan humanisasi itu manusia tertindas tidak boleh berbalik menjadi penindas. Pembebasan sejati terjadi kalau tangan-tangan yang terangkat mengemis itu diubah menjadi tangan-tangan yang mampu mengubah dunia. Kaum tertindas mampu memahami penindasan yang mengerikan, karena merekalah yang menanggung dan mengalami beban penindasan. Merekalah yang lebih memahami keharusan pembebasan.

Paulo Freire menyebutkan bahwa pendidikan lama itu adalah pendidikan dengan sistem bank. Dalam pendidikan itu guru merupakan subyek yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada murid. Murid adalah wadah atau suatu tempat deposit belaka. Dalam proses belajar itu murid hanya sebagai objek belaka. Sangat jelas dalam pendidikan semacam itu, bagi Freire, tidak terjadi komunikasi yang sebenarnya antara guru dan murid. Praktik pendidikan semacam itu mencerminkan penindasan yang terjadi di masyarakat sekaligus memperkuat struktur-struktur yang menindas.

Untuk mengganti sistem pendidikan seperti itu, Freire mempunyai alternative yaitu sistem baru yang dinamakan problem-posing education atau pendidikan hadap masalah yang memungkinkan konsientisasi. Dalam konsientisasi, guru dan murid bersama-sama menjadi subyek yang disatukan oleh obyek yang sama. Tidak ada lagi yang berpikir memikirkan dan yang tinggal menelan, tetapi mereka berpikir bersama. Guru dan murid harus secara serempak menjadi murid dan guru. Dialog menjadi unsur sangat penting dalam pendidikan.

                  

Dengan demikian  pendidikan harus dapat  membuka mata peserta didik guna menyadari realitas ketertindasannya untuk kemudian bertindak melakukan transformasi sosial. Kegiatan untuk menyadarkan peserta didik tentang realita ketertindasannya ini ia sebut sebagai konsientasi. Konsientasi adalah pemahaman mengenai keadaan nyata yang sedang dialami peserta didik. Konsientasi bertujuan untuk membongkar apa yang disebut oleh Freire sebagai kebudayaan diam. Diam atau bisu dalam konteks yang dimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuan yang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahan intervensi penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisu yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu. Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka bisu dan dibisukan. Karena itu, untuk menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas.

Dalam konteks yang demikian Pendidikan gaya bank dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Karena itulah, ia menawarkan pendidikan “hadap-masalah” sebagai jalan membangkitkan kesadaran masyarakat bisu.

 

Materi Ajar dan Metode Pengajaran

Materi dalam proses pendidikan yang demikian tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket tetapi sejumlah permasalahan. Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusi dialogis, yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh peserta didik dalam konteksnya sehari-hari, misalnya dalam pemberantasan buta huruf.

Pertama-tama peserta didik dan guru secara bersama-sama menemukan dan menyerap tema-tema kunci yang menjadi situasi batas (permasalahan) peserta didik. Tema-tema kunci tersebut kemudian didiskusikan dengan memperhatikan berbagai kaitan dan dampaknya.

Dengan proses demikian, peserta didik mendalami situasinya dan mengucapkannya dalam bahasanya sendiri.. Kata-kata sebagai hasil penamaan sendiri itu kemudian dieja dan ditulis. Proses demikian semakin diperbanyak sehingga peserta didik dapat merangkai kata-kata dari hasil penamaannya sendiri.

Pendidikan hadap-masalah sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada peserta didik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik.

Dalam pendidikan hadap masalah itu guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru. Dialog adalah salah satu unsur penting dalam pendidikan kaum tertindas. Inti dialog adalah kata. Kata mempunyai dua dimensi refleksi dan aksi yang berada dalam interaksi yang radikal. Tanpa refleksi hanya akan terjadi aktivisme, dan tanpa aksi hanya akan terjadi verbalisme. Dengan adanya aksi dan refleksi, kata menjadi benar-benar kata yang sejati. Kata sejati adalah kata yang memungkinkan mengubah dunia. Dialog adalah pertemuan antara kata dengan tujuan memberi nama kepada dunia. Dialog mengandaikan kerendahan hati, yaitu kemauan untuk belajar dari orang lain meskipun menurut perasaan kebudayaan lebih rendah, memperlakukan orang lain sederajat, keyakinan bahwa orang lain dapat mengajar kita. Artinya bahwa tindakan dialogik selalu bersifat kooperatif. Itu berarti adanya kesatuan antara bawahan dan atasan dalam usaha memacu proses perubahan.

Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri peserta didik. Freire membagi empat tingkatan kesadaran manusia, yaitu: (1)  Kesadaran intransitif, dimana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas. (2) Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis. Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan. (3) Kesadaran Naif. Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog. (4) Kesadaran kritis transitif. Kesadaran kritis transitif ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat.

Pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Belajar adalah proses bergerak dari kesadaran peserta didik/pendidik pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang di atasnya.

 

Hubungan antar Guru dan Murid yang Baik

Peserta didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan peserta didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, peserta didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut.

Guru menjadi rekan murid yang melibatkan diri dan merangsang daya pemikiran kritis para murid. Dengan demikian kedua belah pihak bersama-sama mengembangkan kemampuan untuk mengerti secara kritis dirinya sendiri dan dunia tempat mereka berada. Pengetahuan adalah keterlibatan.

 

L. Subagi. Kritik Atas: Konsientisasi dan Pendidikan. Teropong Paulo Freire dan Ivan Illichdalam Martin Sardy (ed.), Pendidikan Manusia. (Bandung: Alumni, 1985), p. 104-105.

Paulo Freire. Pendidikan Kaum Tertindas. (Jakarta: LP3S, 1972). p. xii.

Paulo Freire dan Antonio Faundez. Belajar Bertanya. Pendidikan Yang Membebaskan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995). p. 6.

Sumaryo. Pendidikan Yang Membebaskan” dalam Martin Sardy, Mencari Identitas Pendidikan. (Bandung: Alumni, 1981). p. 29.