Pendidikan Yang Membebaskan

Pendidikan Yang Membebaskan

R. Muktiono Waspodo Dec 26, 2023 07:43 143
Pendidikan Yang Membebaskan

Kegiatan belajar mengajar di sekolah akhirnya tidak lain dari upaya pelestarian kebudayaan diam atau bisu di pihak siswa sebagai obyek pendidikan dan pelestarian privilege-privilege khusus dan istimewa. Pihak guru sebagai subyek pendidikan sekaligus sebagai figur kelompok elite sosial politis. Dengan kata lain, sistem pendidikan yang dianut bukan lagi suatu upaya pencerdasan kehidupan bangsa agar mampu menge-nal realitas diri  dan dunia secara tepat dan jitu, melainkan suatu “upaya pembutaan kesadaran yang disengaja dan terencana. Pendidikan bukan lagi suatu upaya konsientisasi lewat afabetisasi, melainkan upaya penjinakan kesadaran yang manipulatif.

Sekolah dalam praksisnya lebih sering menjadi legitimasi sekelompok elite sosial politik lewat sistem pendidikan manipulatif yang menutup jalan bagi proses konsientisasi. Karena itu, tidak akan mungkin diharapkan terjadinya suatu proses perubahan dan perkembangan kalau orang sudah dijinakan untuk menjadi buta kesadaran. Fakta semacam ini berarti pembenaran de facto terhadap apa yang disebut proses penindasan secara de iure tidak dapat diterima atas nama humanisme. Identitas insani manusia sebagai subyek berkesadaran perlu dibela dan ditegakan  lewat sistem dan model pendidikan bebas dan metode pendidikan aksi dialogis.

Hasil kajian dari pedagogi kritis menempatkan proses pendidikan sebagai suatu proses dialogis. Dengan demikian diperlukan upaya pencerahan terhadap proses pembelajaran, sehingga siswa dapat berkembang secara optimal. Dialog berimplikasi pada ketiadaan sikap otoriter. Dialog menjaga adanya ketegangan permanen dalam hubungan antara otoritas dengan kemerdekaan. Akan tetapi di dalam ketegangan ini, otoritas akan terus ada karena ia memiliki  wewenang membiarkan adanya kebebasan siswa yang mucul. Yang matang, tumbuh dengan baik karena otoritas dan kebebasan sama-sama memiliki disiplin yang baik.

Kritik Illich dan Freire sebetulnya bermula pada permasalahan;  jika pendi-dikan dilembagakan sebagai institusi formal, maka  mau tidak mau berbagai macam kepentingan dan aspirasi dari berbagai institusi yang menyebar dalam masyarakat secara keseluruhan akan saling menggeser dalam suatu kompetisi yang mengakibatkan lembaga pendidi-kan sekolah tidak lagi tahu persis dimana kedudukan yang sebenarnya. Dengan kata lain semua pemasalahannya yakni sejauhmana lembaga pendidikan sekolah  dari dirinya sendiri  diakui dan dinilai secara instrisik, dan sejauhmana lembaga pendidikan ditempatkan dalam konteks sistem kemasyarakatan umum sehingga dapat juga dinilai secara ekstrinsik. Itulah model pendekatan baru yang dicoba oleh berbagai ahli pendidikan modern zaman ini. Itu berarti lembaga pendidikan  sekolah harus dilihat dari sudut mikro.

Di Indonesia, konsep pendidikan banyak diterapkan oleh kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan pada umumnya diterapkan pada jalur luar sekolah.  Dari pemikirannya telah lahir banyak refleksi dan kajian lebih lanjut. Gagasannya sangat membangkitkan untuk membuka dialog, kritik dan refleksi. Dalam konteks pemikiran dari Freire, kiranya tepat untuk mengem-bangkan suatu kebijakan kependidikan yang terpadu tanpa mengabaikan segi ilmiah, segi himaniora, dan teknologi, serta segi kultural dan religius. Sebaliknya kebijakan kependidikan tidak lagi ditata sebagai disiplin ilmu yang tertutup, namun dapat terkoordinasi antar disiplin ilmu .

Dalam konteks pendidikan yang membebaskan, sekolah diharapkan dapat memberikan peluang yang besar bagi berkembangnya potensi yang dimiliki oleh siswa. A. Supraktiknya (2001) mengemukakan bahwa orang sering risau menghadapi persoalan pendidikan yang sering mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat. Di sisi lain pendidikan sekolah harus mampu memainkan peranannya yang lebih sejati, yakni sebagai sarana pemberdayaan manusia, sehingga “manusia menjadi manusia. Pendidikan jangan terisolasi dengan dunia nyata dan realita kehidupan yang ada di sekitarnya. Praktek pendidikan harusnya memasukan problematika kehidupan sebagai bahan kajiannya, dan bukannya menghindar dari problematika yang ada. Pembebasan bagi mereka yang belajar dengan cara berfikir sistematis, logis dan dapat memper-tanggungjawabkan gagasannya. Pendidi-kan yang membebaskan tidak mengenal adanya posisi guru yang serba tahu, sedangkan siswa-siswa diposisikan  hanya insan manusia yang siap untuk menerima pesan-pesan tersebut. Jelas persepsi semacam ini sangat keliru, sebab sesungguhnya dala pendidikan yang bebasnya menempatkan posisi guru dan siswa yang sejajar, agar terjadi dialog yang terbuka, dan bebas.

Begitu pun halnya dengan pengelolaan kegiatan belajar mengajar di sekolah, guru tidak lagi serba  tahu dan sumber informasi dan kebenaran tunggal yang tidak memungkinkan alternatif lain sama sekali. Berdasarkan pandangan Freire, proses pencarian kebenaran ilmiah perlu dilakukan secara bersama-sama dalam suatu forum dialog. Sebagai wujud dari pelaksanaan pendidikan bebas yang bersifat egalitarian, maka memungkinkan bagi sekolah-sekolah swasta untuk tumbuh dan berkembang di samping sekolah-sekolah negeri.

Kritikkan tajam dilontarkan oleh Muchtar Buchori (1999), bahwa pendidikan kita telah mati suri. Jelaslah membutuhkan upaya serius dari, oleh dan untuk kita dengan cara intropeksi, analisis & refleksi. Sebab menurut hemat penulis, memang ternyata ada indikasi bahwa pendidikan kita dalam persimpangan degradasi merosotnya mutu pendidikan. Istilah lain yang digunakan oleh Tilaar (2002), pendidikan kita telah koid . Dengan keprihatinan yang mendalam, Tilaar mencoba untuk menggas pentingnya pendidikan tranformatif, sehingga proses pendidikan akan kembali kepada hakekatnya yang paling hakiki.  

Sebagaimana yang telah diakui oleh Freire bahwa dalam bukunya yang berjudul Pedagogy of Opperessed (1972), gagasannya bersifat sementara, yang sangat membuka dialog, kritik, refleksi. Risalahnya yang tertuang dalam bukunya bukan bersifat dogma, sehingga ia berharap sekali adanya perbaikan atas kekhilafan, kesalah pahaman, penaja-man, serta jalan keluar dari kebuntuan tawaran/alternatif. Sistem pendidikan bebas mengandung arti adanya proses pembebasan peserta didik dari segala sesuatu yang menindas dan membelenggu dirinya sebagai mahluk otonom. 

 

 

 

1.   Pendidikan yang Membebaskan

 

Menjadi manusia  adalah menjalin dunia sebagai  realitas obyektif yang tidak tergantung pada siapapun. Manusia dapat mengatasi demensi tunggal  mampu menjangkau hari kemarin, mengenal hari ini, dan menemukan hari esok. Manusia memainkan  peran penting dalam pergantian waktu/kurun sejarah. Dengan pendidikan orang menjadi kritis dan dapat menemukan perbedaan antara pendidikan dan propa-ganda.   Demokrasi dapat berkembang dalam suasana cinta dan penuh hormat terhadap pribadi. Demokrasi bisa hidup  dalam saling  keterbukaan, tidak dengan menyebar ketakutan  karena demokrasi harus dapat membuat orang berani.  Menurut Paulo Freire  pendidikan sebagi usaha membebaskan manusia, bukan alat untuk menindas manusia artinya konteksnya, tindakan manusia, perjua-ngannya untuk  mengatasi dunia  natural dan untuk menciptakan  dunia kultural serta sejarah membentuk suatu totalitas.  

Filsafat pendidikan Paulo Freire menekankan tiga hal: (1)  masalah  penindasan  (2) ketergantungan pada penjajah atau sumber-sumber ekster-nal  dalam pengambilan keputusan politik, ekonomi, juga pendidikan (3) orang-orang yang tersisih atau termarginalisasi yang membentuk budaya bisu.

Setelah dunia ini terkotak-kotak  akibatnya, manusia menjadi tertindas, direndahkan, diubah menjadi penonton diarahkan oleh mitos-mitos yang dicitakan oleh kekuatan sosial yang penuh kekerasan. Mitos-mitos menyerang, menghancurkan  dan meniada-kan manusia, ditakut-takuti secara tragis, manusia menjadi takut. Disisi lain takut menjadi terpencil mereka tergabung dengan kelompok yang kehilangan ikatan kasih sayang. Manusia banyak mengunakan akal budi dan  sedikit menggunakan nurani dan perasaan.

 Invasi kultural, setiap invasi  tentu saja mengandaikan subyek yang menindas  dalam situasi   invasi mem-buat yang ditindas  menjadi obyek semata. Hubungan antara penindas atau penyerbu  (invader) dengan mereka yang ditindas adalah hubungan dua kutub  yang bertentangan. Hubungan itu   adalah hubungan  kekuasaan atau otori-tas. Para penindas yang bicara sedang yang ditindas dilarang bicara, mendengarkan saja apa yang dikatakan penindas. Setiap tindakan invasi kultural, memerlukan penaklukan, manipulasi, dan mesinisme para penindas. Ia memerlukan propaganda yang bersifat menjinakan daripada membebaskan. Karena  invasi kultural  atau penindasan kultural adalah penaklukan, maka untuk mempertahankan diri  maka ia membutuhkan penaklukan-penaklukan beri-kutnya.

Propaganda adalah alat penindasan, sedangkan manipulasi adalah alat untuk menjinakan. Propaganda merupakan pembujukan hal ini merupakan lawan dari pendidikan (pembebasan). Tugas pendidikan adalah eksistensi dan komunikasi bukan propaganda. Saat  ini  pendidikan berhadapan dengan masifasi, hanya pendidikan yang dapat memperlancar pergeseran kesadaran transitif naif ke kesadaran kritis yang akan mempunyai kemampuan  manusia untuk melihat tantangan-tantangan dari zamannya.

Pendidikan yang dituntut oleh situasi adalah pendidikan yang membuat manusia berani membicarakan masalah-masalah lingkungannya  dan tantangan dalam lingkungan tersebut. Pendidikan yang mampu memperingatkan manusia dari bahaya zaman dan memberikan kepercayaan  dan kekuatan untuk menghadapai bahaya-bahaya tersebut. Bukan pendiddikan agar anak menyerah  patuh pada keputusan orang lain. Dalam usaha mengarahkan praktek pendidikan kita kepada tujuan-tujuan  demokratis tak dapat mengabaikan tradisi budaya yang paternalistik dan kondisi baru dari masa transisi.

Tugas pendidik bukanlah  mengisi terdidik dengan pengetahuan  baik teknis maupun yang lain. Tugas mereka lebih mengusahakan cara berpikir baru, baik bagi pendidik maupun terdidik melalui hubungan dialogis antara keduanya (pendidikan dialogis).

Pendidikan yang manusiawi dilaku-kan secara diaolgis, hakekat dialogis  adalah kata tetapi kata bukan hanya sekedar alat dialogis, tetapi kata menemukan dua dimensi yaitu refleksi dan tindakan. Apabila dalam dialog salah satu diabaikan berarti ada yang dirugikan. Dialog adalah  bentuk per-jumpaan antara sesama manusia  dengan perantaraan dunia.  Dengan demikian dialog tidak akan terjadi  antara orang-orang  hendak memaknai dunia dengan orang-orang  yang memang tidak mem-butuhkan pemaknaan itu.

Dialog tidak boleh menjadi suatu alat dominasi seseorang terhadap orang lain. Dominasi dalam dialog  adalah dominasi terhadap dunia oleh mereka yang mengikuti dialog, yakni  penguasaan dunia atas dunia pembebasan manusia. Beberapa hal yang patut diper-timbangkan dalam dialog: (1) Dialog tidak dapat berlangsung tanpa adanya rasa cinta kasih yang mendambakan dunia  terhadap sesama manusia. (2)  Dalam dialog tidak mungkin dilakukan tanpa kerendahan hati (3) Dialog menun-tut adanya keyakinan yang mendalam terhadap diri manusia, keyakinan terhadap diri manusia, keyakinan pada kemampuan manusia untuk membuat kembali, untuk mencipta dan mencipta kembali, keyakinan pada fitrahnya  untuk menjadi manusia seutuhnya bukan manusia istimewa/elite, tetapi kehadiran sesama manusia. (4)  Dialog dapat ter-jadi karena adanya harapan. Harapan berakar dari ketidak sempurnaan  manusia. (5)  Dialog tidak akan terjadi kecuali melibatkan pemiliran kritis, pemikiran melihat suatu hubungan  tak terpisahkan  antara manusia dan dunia  tanpa melakukan dikotomi  antara pesreta dialog.

Sifat dialog dari pendidikan  sebagai praktek pembebasan  tidak dimulai ketika  guru-yang murid berhadapan  dengan murid yang guru dalam situasi pendidikan.

 

2.   Menjadi Guru yang Merdeka

 

Banyak faktor yang dapat menentukan keberhasilan pendidikan, diantaranya meliputi kurikulum, sarana belajar, teknik pembelajaran, kepala sekolah, guru, siswanya dan sebagainya. Dari faktor-faktor ini banyak orang sependapat bahwa yang paling menen-tukan adalah gurunya. Ruang belajar bisa amat sederhana, peralatan praktik kurang lengkap, laboratium dan perpustakaan mengenaskan, tetapi bila gurunya baik maka harapan masih ada. Pernyataan tersebut diyakini para pengambil keputusan pendidikan dibanyak negara. Salah satunya negara Australia, pada saat Adelaide Declaration 2000, mereka bersepakat untuk membangun bangsa Australia ke depan dalam konteks millineum ke-3, dimulai dari meningkatkan kualitas pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan dimulai dari peningkatan profesionalisme guru. Di Australia, guru amat dihargai dan digajinya pun dalam jumlah cukup sehingga banyak master dan doktor yang bersedia menjadi guru di sekolah menengah maupun sekolah dasar sekalipun. Di sisi lain negara Jepang dan Korea Selatan selain diberikan kesejah-teraan yang memadai, para guru ditempatkan pada status yang terpuji oleh masyarakatnya. Pada umumnya mereka yakin bahwa tanpa guru yang bermutu tidak mungkin diraih keberhasilan pendidikan secara optimal. Sebab tidak semua peran guru dapat digantikan, dengan media pembelajaran. Peran guru dapat menghidupkan suasana interaksi yang manusiawi antara guru dan siswa atau antara siswa dengan siswa lainnya (Kompas, 16 Juli 2002).

Bagaimana halnya dengan Indonesia, profesi guru masih menjadi problematik yang harus dicari jalan pemecahannya, sehingga guru benar-benar dapat dengan sepenuhnya menjalan tugas yang diembannya dengan penuh pengabdian dan menjunjung tinggi profesionalisme.

Paulo Freire memberikan kritik terhadap kelemahan-kelemahan sistem persekolahan/pendidikan  yang teacher centered program. Sistem pendidikan tersebut dapat menurunkan  martabat manusia dan memperkuat penindasan. Ia menggambarkan bahwa dalam praktik sistem  pendidikan semacam itu lebih bersifat: (a) guru mengajar, murid diberi pelajaran, (b) guru mengetahui segala macam, murid tidak mengetahui apa-apa, (c) guru berpikir, murid yang dupikirkan, (d) guru berbicara, murid mendengarkan dengan tenang, (e) guru mengenakan disiplin, murid yang dikenakan disiplin, (f) guru memilih dan melaksanakan pilihan, murid hanya menyetujui, (g) guru berbuat, murid hanya memiliki ilusi melakukannya melalui perbuatan guru, (h) guru memilih isi program, murid menyesuaikan, (i) guru merancukan kekuasaan pengetahuan dengan kekuasaan profesi yang ia letakkan dalam pertentangan dengan kebebasan murid, dan (j) guru adalah subjek dalam mengajar, murid adalah objek.

Kritik paulo Freire di atas diungkapkan oleh Shodiq A. Kuntoro dengan menambahkan pendidikan semacam inilah yang membuat anak menjadi pasif, tidak berani mengatakan perasaannya, verbalisme, bermental sakit, rendah diri, tidak kritis, dan tidak produktif. Untuk menghadapi sistem pendidikan yang tidak demokratis tersebut diperlukan seorang guru/ pendidik yang mampu menumbuhkan sikap skeptis, kritis, sabar, percaya diri, kreatif, dan berani mengemukakan perasaannya. Dengan demikian, untuk memperoleh hasil pembelajaran yang optimal baik guru maupun siswa harus sama-sama menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, guru merasa bebas dan siswa juga merasa bebas/merdeka dari himpitan untuk menyuarakan kata hati, perasaan, dan ideologinya.

Menjadi guru sebagai pendidik yang membebaskan mengacu pada hal-hal berikut.

a.  Guru perlu mengubah pedagogi ke arah pendidikan kreatif sehingga menghasilkan siswa yang memiliki kreativitas. Kreativitas memerlukan kebebasan karena proses kebebasan  akan dapat menjadi jendela dan jalan untuk mencapai siswa, untuk melihat kondisi mereka sendiri, serta untuk mencerahkan menuju tujuan yang lebih baik.

b.  Guru harus menunjukkan sikap antusiasme sehingga siswa akan memiliki minat tinggi untuk belajar secara kritis.

c.   Guru harus menciptakan suasana di mana siswa dan guru bersama-sama belajar, sama-sama memiliki kognitif, selain sama-sama memiliki perbedaan.

d.  Guru berusaha menjadikan pendi-dikan sebagai wahana yang demokratis, yakni pendidikan yang membuka, pendidikan yang menantang, menumbuhkan tindakan kritis terhadap upaya mengetahui dan membaca realitas.

e.   Guru diharapkan mampu mence-rahkan realitas dengan menggunakan format kulilah yang dialogi sehingga guru yang membebaskan tidak melakukan sesuatu kepada siswa tetapi melakukan sesuatu bersama dengan siswa.

f.    Guru yang membebaskan selain menterampilkan siswa untuk masuk lapangan kerja juga harus mengajarkan kekritisan  terhadap pelatihan yang diberikan.

g.  Guru yang membebaskan  harus mampu memotivasi siswa sehing-ga mampu menyerap tema-tema dan bahan-bahan pembelajaran dari konteks sosial yang menarik perhatian kritis terhadap realita.

h.   Guru yang demokratis tidak pernah mentransformasi otoritasnya sehingga menjadi otoriter, meskipun guru tetap pemegang otoritas karena tanpa otoritas akan sulit membentuk kebebasan siswa. Misalnya, otoritas diterapkan pada siswa yang melam-paui batas otoritas. Berarti guru harus menerapkan demokrasi, kebebasan, dan otoritas bersama-sama.

i.    Guru berbeda dengan siswa bukan karena  pendidikan atau pelatihan yang sudah dijalaninya, tetapi karena ia mampu memimpin transformasi yang tidak akan berlangsung di kelas begitu saja.

j.    Dialog yang membemaskan bukan sekedar teknik yang akan membantu mendapatkan hasil, Dialog merupakan momen ketika manusia memer-lukannya untuk merefleksi realitas yang dihadapi. Kelas dialogis menuntut adanya disiplin yang tinggi dan tidak permisif.

k.   Kelas dialogis memerlukan massa kritis partisipan untuk mendorong agar proses berlangsung serta melibatkan siswa yang masih enggan bicara namun bersedia menjadi pendengar.

l.    Penyelidikan dialogis disituasikan pada budaya, bahasa, politik,  dan tema-tema yang dipahami siswa tetapi yang mengandung problematis untuk didiskusikan.

m.  Pengajar tidak perlu menentang kurikulum atau program, tetapi yang dilakukan adalah menentang otoritarisme dan cara-cara elit di dalam pengorganisasian perkuliahan.

n.   Guru perlu memahami krakter siswa sehingga ia akan dapat memperbaiki efektifitas pembvelajaran

o.   Guru yang dialogis bisa disebut guru yang memiliki seni sehingga menciptakan suasana kelas yang hidup karena pada dasarnya siswa itu bukan pembisu, tetapi selalu memiliki maslah yang ingin disampaikan.

p.  Guru perlu menciptakan metode dialogis yang mampu menentang logika dominasi, menentang hubungan sosial pembelajar yang meng-hambat demokrasi dan pemikiran kritis.

 

3.   Mengapa diperlukan orientasi baru dalam pendidikan?

 

Pada saat ini mutu sumber daya manusia Indonesia jauh tertinggal dengan negara-negara yang sedang berkembang pada umumnya. Menurut laporan UNDP tahun 2002 tentang Human Development Index (HDI) atau Indek Pembangunan Manusia, bahwa Indonesia berada pada peringkat 110 dari 173 negara yang diteliti dan masih jauh di bawah negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunai Darussalam. Daya saing sumber daya manusia Indonesia di kawasan Asia berada pada peringkat 45 di antara 48 negara, daya saing ekonomi pada peringkat 41 dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi berada pada peringkat 40 di antara 46 negara (The World Economic Report, 1996). Lebih memprihatinkan lagi kualitas pendidikan di Indonesia berada di urutan ke 12 dari 12 negara di Asia, setingkat di bawah negara Vietnam pada peringkat 11 (PERC-The Political and Economic Risk Consultancy, September 2001), selain itu masalah tingginya jumlah buta aksara, terbatasnya layanan dan kesempatan mendapatkan pendidikan bagi anak usia sekolah, serta masih tingginya angka putus sekolah masih ditemukan di berbagai jenjang pendidikan.

Dalam konteks tersebut di atas, maka sistem pendidikan menjadi tantangan dan peluang bagi guru selaku tenaga kependidikan yang diharapkan dapat berperan untuk membelajarkan siswanya. Isu kritis yang terjadi di masyarakat  saat ini adalah bahwa  pendidikan saat ini belum cukup didukung oleh guru yang bermutu, profesi guru belum diminati oleh masyarakat, sehingga lembaga pendidikan tenaga kepen-didikan kesulitan untuk mendapatkan calon mahasiswa yang berprestasi untuk menjadi guru yang profesional dan berkualitas unggul.

Seiring dengan kondisi itu, secara formal ternyata mutu guru kita amat rendah. Dari sisi kewenangan hanya sedikit guru SD, SLTP, SMU, dan SMK yang memenuhi  persyaratan akademis untuk mengajar siswa di depan kelas. Data Balitbang Depdiknas (2001) menyatakan dari 1.054.859 guru SD negeri ternyata hanya 446.827 atau  42,4 % yang layak mengajar, yakni memenuhi persyaratan akademis akan kewena-ngannya. Itu berarti, sebagian besar (57,6 %) guru SD negeri tidak layak mengajar.

Sedangkan guru SD Swasta menunjukan lebih buruk lagi, sebesar 60,6 % guru SD swasta ternyata sama sekali tidak layak mengajar di depan kelas. Gambaran serupa juga terjadi pada satuan SLTP, SMU, dan SMK. Persoalan lain, kesesuaian bidang studi, sebagai contoh guru bidang studi Matematika dan IPA, tingkat ketersediaan guru hanya sekitar 30 % dari yang seharusnya. Dengan demikian, kita tidak perlu terkejut bila di lapangan menemukan realitas banyak guru yang harus mengajar bukan bidangnya. Guru yang berlatar belakang ekonomi harus mengajar Matematika, Guru yang berlatar belakang Inggris harus mengajar IPA, dan sebagainya.

 Peran guru sangat strategis dalam upaya untuk membelajarkan siswanya. Namun demikian dalam kenyataannya banyak dari mereka dihinggapi perasaan rendah diri serta kurang bangga terhadap profesi yang diembannya. Inilah semua cermin profil guru saat ini dalam menghadapi problematika kehidupan. Bebera-pa persoalan yang perlu mendapatkan perhatian dalam mendukung orientasi baru pendidikan.

Memperhatikan deskripsi di atas, maka sistem pendidikan kita perlu untuk diberikan alternatif penyempurnaan yang akan mengantarkan kepada proses pendidikan yang membebaskan. Dalam konteks ini, pedagogi kritis beruapya untuk membuka pencerahan bagi orientasi baru pendidikan di Indonesia. Sebab jika tidak dilakukan alternatif-alternatif pendekatan dan model pembelajaran yang  inovatif, dan mem-buka peluang lahirnya pendidikan yang membebaskan, maka pendidikan kita akan bisu, dan proses pendidikan akan kehilangan maknanya.

 

4.   Bagaimana implikasinya terhadap Sistem Pendidikan di Indonesia?

 

Saat ini begitu banyak sumber belajar, dari yang tradisional sederhana (buku) sampai pada peralatan canggih  (media elektronik dan komputer). Sangatlah mungkin bagi siswa di sekolah atau anak di rumah tidak lagi bergantung pada guru dan orang tuanya, tetapi dapat melakukan kegiatan belajar di mana saja.

Sosok guru memang tetap diperlukan di tengah-tengah aktivitas belajar yang melibatkan peralatan secanggih apa pun. Dalam era kecanggihan dan globalisasi kini maupun paa masa depan diperlulkan sosok guru yang profesional, bermoral tinggi, beretika tinggi sebagai panutan, dan pemberi keteladanan. Dalam hal ini posisi guru tidak dapat digantikan oleh alat secanggih apa pun. Akan tetapi, dia bukanlah pusat pendidikan, melainkan pembim-bing, pembina, pengarah, pendamping, sedangkan anak (siswa) menjadi pusat atau sentral pendidikan.

Strategi pembelajaran merupakan suatu cara yang dilakukan untuk mem-bantu peserta didik dalam mewujudkan perilaku belajar secara efektif agar mencapai tujuan yang diinginkan. Strategi pembelajaran meliputi berbagai aspek kegiatan yang harus dilkukan guru dalam situasi interaksi pembelajaran, antara lain yang menyangkut perumusan tujuan, pemililhan bahan ajar, metode dan alat bantu mengajar, kegiatan siswa, evaluasi hasil belajar, dan manajemen pembelajaran.

Proses pembelajaran dalam pendidikan di era abad ke-21, menuntut suatu strategi tertentu yang berbeda dengan di masa lalu. Dengan perkembangan global, proses pembelajaran tidak hanya bentuk pemrosesan informasi, akan tetapi harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu mengembangkan sumber daya manusia kreatif yang adaptif terhadap tuntutan yang berkembang.

Dalam menghadapi pemba-haruan pendidikan, diperlukan oreintasi baru terhadap paradigma pendidikan yang membebaskan. Implikasi yang dapat terjadi dari pendidikan yang bebas-kan, meliputi hal-hal sebagai berikut;

a.  Proses pendidikan akan bergeser dari pendidikan terminal ke pendidikan seumur hidup. Sejak awal pendidik harus mengajarkan para siswa agar senang belajar apa saja, di mana saja. Peran guru akan bergeser dari transfern pengetahuan ke eksplorer pengetahuan. Pola dan cara mengajar harus mulai berubah dengan memperlakukan peserta didik sebagai subjek belajar dan mengajak mereka lebih aktif dan dapat berdialog dengan siswanya.

b.  Peran pendidikan kultural. guru harus tetap menjadi contoh  dan teladan dalam perilaku, etika, dan moral bagi siswa dan masyarakat.

c.   Materi pendidikan akan akan bergeser dari penjelajahan ilmu hitung, baca, dan tulis menjadi penjelajahan teknologi, kultural, dan komputer. Walaupun bersifat sangat elementer, kesenangan akan pengetahuan, teknologi, komputer, serta sistem nilai bangsa harus mulai ditanamkan  kepada peserta didik.

d.  Peran guru yang bersifat soliter akan begeser menjadi peran tim. Kelas klasikal yang bercorak individu akan bergeser menjadi kelas seminar. Pendidik mengajari siswa untuk belajar berpikir runtut, terbuka, demokratis bebas menyampaikan pendapat dan pikirannya.

e.   Peran visi persaingan yang eksklusif akan bergeser menjadi visi kerja sama yang kooperatif baik regional maupun global. Penguasaan iptek bukan hanya menang kalah dalam persaingan melainkan untuk kepentingan kerja sama kemitraan yang saling mengun-tungkan. Jangan ajarkan siswa untuk bersaing mengalahkan si A si B melainkan berpacu mengalahkan dan memecahkan  persoalan yang dihada-pi denga cara kerja sama. Tidak ada seorang pun yang akan unggul sendirian.

f.    Pandangan nasionalisme yang sempit akan bergeser menjadi pandangan  internasionalistik yang terbuka dalam arti harus mampu membuka teknologi dan budaya yang lain tanpa harus kehilangan jati dirinya.

 

 

V.  Kesimpulan

 

Problematika pendidikan nasional bukan hanya masalah rendahnya mutu guru, penghargaan yang diberikan, dan masalah-masalah teknis belaka, tetapi merupakan masalah yang kompleks. Permasalahan sistem pendidikan di Indonesia  merupakan refleksi dari perubahan besar di dalam masyarakat kita. Pada kenyataannya, pandangan masyarakat  terhadap pendidikan masih kurang, begitu pula komitmen pemerintah belum terwujud secara optimal dalam mengembangkan sistem pendidikan dan mempersiapkan guru sebaga pilar utama dalam mengangkat derajat kehidupan berbangsa.

Pemerintah dan masyarakat sangat mengharapkan pendidikan yang mem-bebaskan, dan mampu mengembangkan seluruh potensi peserta didik. Sekolah janganlah dijadikan benteng kekuasaan yang mematikan kreativitas siswa, dan menjadikan dirinya terbelenggu oleh peraturan yang dipaksakan. Oleh karena itu guru dituntut untuk dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, kreatif dan inovatif sesuai bidangnya, sehingga dapat menghasilkan yang terbaik mutunya, yang berarti pula dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Hal ini tercermin oleh guru yang merdeka, sebagaimana yang diidamkan oleh pedagogi kritis. Untuk itu guru harus belajar terus menerus sepanjang hayat, meningkatkan kemampuan profesional-nya agar tetap eksis di masyarakat dan tidak tertinggal oleh perkembangan zaman.

Hal ini akan berimplikasi kepada peran guru sebagai tenaga kependidikan di dalam menjalankan tugasnya Untuk dapat mendukung terciptanya guru yang bermutu  diperlukan adanya sebagai berikut :

1.     Sistem rekrutmen dengan insentive yang dapat menarik lulusan pendidi-kan guru yang secara akademik dan kompetensi (personal, sosial, dan profesional) memenuhi syarat;

2.     Sistem pendidikan dan pelatihan (diklat) pada program pra jabatan (in-service) dan program dalam jabatan, dilakukan secara sistematis dan sistemik sebagai wujud upaya dalam rangka peningkatan kualitas guru.

3.     Iklim organisasi yang dapat memungkinkan terjadinya proses pembudayaan kemampuan, nilai dan sikap profesional sebagai guru pendidik;

4.     Sistem penempatan dan pembinaan guru yang adil, merata, profesional, dan terus    menerus secara berkesinambungan;

5.     Pemberian jaminan kesejahteraan guru yang memungkinkan guru dapat memusatkan perhatian sepenuhnya sebagai tenaga pendidik yang profesional.

Pada hakekatnya sistem pendidikan nasional yang bercirikan pembebasan dari belenggu sekolah menuntu adanya profil guru masa depan yang mampu berperan sebagai agen pembaharu di masyarakat dan sekaligus ujung tombak pembaharuan dalam bidang pendidikan.  Baik buruknya pendidikan tidak hanya terletak pada besarnya dana, sarana, dan baiknya kurikulum yang berlaku, namun juga ditentukan oleh peran guru yang telah diberi tanggung jawab & wewenang untuk melaksanakannya.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

A.Supartiknya, (2001), Hantu Masya-rakat itu Bernama Pendidikan, dalam Sidhunata, Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman. Kanisius, Yogyakarta.

Arikunto S. (1999), Manajemen Pen-gajaran secara Manusiawi, Rineka Cipta Jakarta.

Errick, Smith. (1999) Contructivisit the Individual Knower, J.R.M.E. Vol 30 no. 4, P.390-416.

Freire, Paulo. (1972). Pedagogy of the Oppressed, Middlesex: Penguin Book.

Fr.Wahono Nitiprawiro, (2000), Teologi Pembebasan, Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, LkiS, Yogyakarta.

KI Supriyoko, (1999) Membangun Kebanggaan Profesi Guru, dalam harian Surat Kabar Republika, Kamis 23 Nopember 1999.

-----, (2002), Pendidikan tanpa Guru Bermutu, dalam harian Kompas, 16 Juli 2002.

Slamet Imam Santoso, (1995), “Pendidikan di Indonesia” dalam H.A.R. Tilaar, 50 tahun Pem-bangunan Pendidikan Nasional (1945-1995), Grasindo,1995, hal. 318.

Sahertian P.A. (1994), Profil Pen-didik Profesional, Andi Offset Yogyakarta.

Sutjipto, (1999), Profesi Keguruan, Rineka Cipta, Jakarta.

Tilaar, H.A.R. (2002), Perubahan Sosial dan Pendidikan, Grasindo, Jakarta,

W.R. Houston, R.T. Clift, H.J. Freiber (1989), dan A.R. Warner. (1988). Touch the Future; teach ! St. Paul: West Publishing Co.

Zamroni, 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Bigraf Publishing, Yogyakarta.