Membangun Kesadaran Kritis Mahasiswa
(Modal Transformasi Masyarakat)
R. Muktiono Waspodo*)
Semangat manusia seringkali meningkatkan pengetahuannya untuk memenuhi kesejahteraan, namun terkadang lupa bagaimana pentingnya meningkatkan kesadaran kritis dan kepedulian terhadap apa yang sedang terjadi dalam masyarakatnya. Mengawali tulisan ini, diajukan pertanyaan, pentingkah membangun kesadaran kritis mahasiswa ?
Tentu dibutuhkan peran pendidikan, dengan berbagai kebijakan dan program yang bergerak terus melakukan perubahan sebagai konsekuensi dari kebutuhannya. Pendidikan akan senantiasa berhubungan dengan transformasi masyarakatnya, dan akhirnya pada peradaban suatu bangsa.
Kritik terhadap pendidikan kapitalis seperti dalam Neoliberalisme War on Higher Education (2011) oleh sosiolog pendidikan Henry Giroux, yang memperlihatkan bagaimana kebijakan neoliberal dalam pendidikan tinggi di negara-negara maju telah mengubah misi dan visi pendidikan tinggi secara keseluruhan. Dikarenakan institusi pendidikan tinggi menjadi sebuah pasar ketimbang sebuah public good maka fokus mahasiswa maupun para pendidik pun adalah return of investment (ROI) dari investasi para mahasiswa ini. Atau dengan kata lain, institusi pendidikan berusaha mengerucutkan pendidikan menjadi sebuah mesin untuk memenuhi ekspekstasi ekonomi mahasiswa maupun masyarakat. Giroux berargumen, dengan fokus yang dipersempit ke output ekonomi menyebabkan perlahan matinya aktivisme dan pola pikir kritis mahasiswa.
Menoreh sejarah perkembangan pergerakan kehidupan suatu bangsa, dihiasi semangat pemuda dalam pergerakan mahasiswa yang berani bersuara ikut andil membawa bangsa untuk maju. Maka dari itu tidak hanya sekedar mereka dibawa harmonisasi dengan dunia industri tetapi juga oleh organisasi sosial budaya dan politik. Tentu bukan maksud menyeret praktek politik semata, tetapi menggugah kesarana kritis modal untuk transformasi masyarakat yang terus berkembang.
Mencermati tulisan Ekonom Samuel Bowles & Herbert Gintis, melalui bukunya Schooling in Capitalist America: Educational Reform and the Contradictions of Economic Life (1976), juga telah mengkritisi bagaimana sistem pendidikan (pedagogi, kurikulum, beserta beragam aturan institusi pendidikan) disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan kapitalisme. Dalam upaya menghasilkan logika kapitalisme. Salah satu ciri khas menanamkan apa yang oleh ahli pendidikan kritis dan filsuf Paulo Freire (1973) disebut sebagai budaya diam, sebuah pola pikir yang patuh terhadap struktur dan hirarki layaknya sebuah mesin korporat.
Arbi Sanit, (1999) mengemukakan sebagai kaum intelektual, mahasiswa berpeluang untuk berada pada posisi terdepan dalam proses perubahan masyarakat. Sejalan dengan posisi mahasiswa di dalam peran masyarakat atau bangsa, dikenal dua peran pokok yang selalu tampil mewarnai aktivitas mereka selama ini. Pertama, sebagai kekuatan korektif terhadap penyimpangan yang terjadi di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kedua, sebagai penerus kesadaran masyarakat luas akan problema yang ada dan menumbuhkan kesadaran itu untuk menerima alternatif perubahan yang dikemukakan atau didukung oleh mahasiswa itu sendiri, sehingga masyarakat berubah ke arah kemajuan.
Ide dan gagasan apakah akan berputar kembali dari berbagai ide gagasan yang pernah muncul, dan terkemaskan secara tidak sadar atapun sadar pada era kekinian. Naluri seorang ilmuwan atau pemerhati pendidikan yang sejati akan bergerak menelusuri fenomena ini.
Freire beserta beberapa pemikir lainnya seperti sosiolog Pierre Bordieu dan sosiolog pendidikan, telah berusaha secara kritis membahas mengenai pendidikan sebagai alat reproduksi sosial dan kontrol sosial. Mereka tidak hanya berbicara mengenai sistem pendidikan yang berusaha menghasilkan individu kapitalis, tetapi lebih dari itu, bagaimana pendidikan melalui kekuasaan yang dominan juga mereproduksi dan memperdalam ketimpangan sosial. Pendidikan yang dilihat dan diharapkan banyak orang sebagai jalur emansipasi mereka, terutama bagi mereka yang berasal dari kelas bawah, pada akhirnya tidak mampu membawa mereka keluar dari keadaan terpuruk dan tertindas mereka. Bahkan, dalam banyak hal pendidikan hanya mengembalikan mereka ke posisi sosio-ekonomi semula.
Dalam kondisi nyata, bagaimana situasi pendidikan kita, terutama di perguruan tinggi ? apakah telah memadai sarana/media untuk memposisikan mahasiswa ikut berperan dalam membangun kesadaran kritisnya untuk memajukan Indonesia yang baik. Tulisan ini mencoba menggugah perhatian kita semua akan pentingnya kesadaran kritis mahasiswa sebagai modal transformasi masyarakat. Tentu peran mahasiswa sangat dinantikan, dan sejarah membuktikan pergerakan yang dimulai dari kalangan mahasiswa menjadi alternatif atau porosnya ide-ide perubahan menuju arah yang lebih baik.
Menggemakan kesadaran kritis mahasiswa
Berbagai tema dalam seminar, seringkali terlihat meningkatkan relevansi pendidikan dengan dunia industri dalam dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Tema yang banyak seperti ini, ditemukan bahkan bisa ditebak, ujungnya adalah bagaimana pemikiran relevansi pendidikan dengan dunia industri menjadi taruhan akan keberhasilan pendidikan tinggi. Dangan begitu seringnya tema ini diusung, kesadaran kolektif masyarakat Indonesia sudah biasa dijustifikasi melalui tema sejenis ini yakni Link and Match ataui perkawinan masal antara PT dengan Industri,
Bukan berarti salah biarkan ini sebagai suatu gerakan semangat untuk menghidupkan kampus dan mendorong peran industri untuk bahu-membahu, gotong royong meningkatkan kesejahteraan ekonomi, paling tidak ada harapan akan peluang lapangan kerja bagi lulusan mahasiswa. Tetapi di sisi lain yang sangat dibutuhkan adalah bagaimana perguruan tinggi mampu membangkitkan kesadaran kritis mahasiswa sebagai modal transformasi membangun Indonesia yang lebih maju. Bergerak cepat menjadi Pioner yang ikut andil pada pembangunan dan mampu menyuarakan keadilan dari ragamnya perlakuan yang ada.
Diperlukan upaya yang sistematis mulai dari kebijakan, program, dan kegiatan agar sebuah sistem pendidikan (khususnya pendidikan tinggi) tidak selalu berorientasi untuk memenuhi tuntutan lapangan pekerjaan. Perlu ada ruang yang cukup untuk mengekspresikan kebebasan berpendapat pada kesadaran kritis mahasiswa.
Paulo Freire menempatkan kesadaran kritis sebagai puncak kesadaran yang berada di atas dua kesadaran lainnya, yaitu kesadaran magis dan kesadaran naif. Kesadaran magis yang menyerahkan kesadaran pada kekuatan mistis yang superior dan tidak ilmiah, dengan melihat kehidupan mereka sebagai sesuatu yang natural dan tidak mungkin dapat diubah. Kesadaran naif yang menyepelakan dan melihat tidak cermat berbagai realitas kehidupan yang dialamianya, ketidakcermatannya melihat realitas menjadi begitu mudah dimanipulasi oleh kepentingan politis dan kepentingan kelompok. Menjadikan kesadaran kritis sebagai modal sosial transformasi masyarakat marjinal tidak dapat terlahir dengan sendirinya. Masyarakat marjinal membutuhkan support dan ide-ide genuine kaum intelektual untuk dapat mendorong tindakan masyarakat marjinal yang produktif.
Uniknya di Indonesia begitu besarnya jumlah SDM dan luasnya wilayah, ragamnya budaya/sosial menjadikan kompleksitas permasalahan dan tantangan yang dihadapi. Namun dibalik tantangan tersebut, maka sesungguhnya ada peluang yang sangat besar bangsa Indonesia untuk mampu maju lebih baik lagi. Aktivitas dari Perguruan Tinggi sangat penting dan strategis dan mampu menjadi poros kesadaran kritis berbagai kepentingan. Maka dari itulah, pentingnya orientasi PT tidak hanya sekedar untuk memenuhi tuntutan kebutuhan Industri atau produk karya ilmiahnya tetapi juga transformasi nilai nilai peradaban bangsa melalui dialog kebangsaan yang terbuka, cerdas dan bertanggung jawab.
Saat ini seperti ruang hampa tema-tema yang mampu mengkritisi arus kapitalisme dan melihatnya hanya sekedar biasa saja, kurangnya pergulatan kesadaran kritis melalui ragam strategi untuk membangun Indonesia lebih maju. Perlu perguruan tinggi menghidupkan pemikiran progresif, pemikiran-pemikiran yang menjadi anti-tesis terhadap kapitalisme. Saat ini kurangnya melihat Patriot dari kalangan mahasiwa yang secara progresif terus menerus menyuarakan keadilan dan kesetaraan, menggugah kalangan yang berkuasa atau elit untuk menoreh perhatian pada mahasiwa bukan sekedar untuk lapangan pekerjaan tetapi menyemai nilai nilai perjuangan untuk memajukan Indonesia yang lebih lagi. Kampus saat ini ramai hanya pada kontes musik dan budaya atau seminar dengan tema tertentu yang dirasakan masih kurang berdampak pada tindakan nyata. Misalnya riset yang dihasilkan, tidak hanya sekedar untuk pengembangan kelimuan, tetapi juga yang bermanfaat bagi peradaban bangsa, memakmurkan (berkeadilan sosial bagi rakyat Indonesia), senantiasa mengikhtiarkan untuk menjadi bagian solusi dari permaslahan dan tangangan bangsa Indonesia.
Pembangunan yang dirasakan kurang berkeadilan, neo-feodalisme yang mengakar, permasalahan intoleransi yang kurang diselesaikan secara tuntas, hal ini dapat membawa luka yang mendalam, dan diperlukan kekuatan kesadaran kritis sebagai modal tranformasi membawa bangsa Indoensia lebih maju lagi. Kesadaran kolektif untuk mencintai pemikiran dan produk Indonesia, penting untuk dikuatkan agar mampu membendung arus kapitalisme. Pada lingkup aktivitas mahasiswa, penting sekali menghidupkan suasana pergerakan dari kesadaran kritisnya, semangat anak muda yang menggelora, termasuk mahasiswa pascasarjana berjibaku untuk memajukan Indonesia yang lebih baik. Diksi kalimat yang digunakan menjadikan pemersatu bangsa, karena sejarah membuktikan kekuatan kalangan mahasiswa bersama tokoh pergerakan nasional mampu membuat Indonesia Jaya.
Kesadaran kristis dan menyikapi hoaks
Saat ini kesadaran kritis yang terbangun juga jangan sampai dilandasi hoaks. Jangan sampai pergerakan mahasiswa terjadi karena didasari berita hoaks, tetapi harus ada data/informasi yang valid. Mencerminkan mahasiswa yang kritis dan bertanggung jawab untuk bergerak menjadi bagian solusi, dengan cara yang bijak dan media/wadah yang tepat. Dangan demikian apa yang digagas akan menghasilkan solusi yang tepat dan dapat dipertangungjawabkan.
Kata hoaks mungkin menjadi salah satu kata yang paling sering diucapkan atau didengar atau tertuang dalam media cetak pada 5 tahun belakangan terakhir ini. Bahkan seakan jadi terbelah oleh dua kubu pro dan kontra. Setiap isu nasional muncul selalu saja akan terjadi pro-kontra, meskipun ini wajar dalam berbagai keragaman. Menjadi tidak wajar, manakala pada porsi yang berlebihan, bahkan menggunakan data/informasi yang tidak valid, menghina perorangan/lembaga tertentu dan lain-lain.
Walaupun telah ada usaha untuk membantu masyarakat memisahkan antara berita yang benar dan tidak, permasalahan ketidakmampuan bernalar kritis kita harus diatasi ke akar permasalahannya. Perlu tampil dari kalangan mahasiswa, mendorong masyarakat untuk berfikir secara kritis akan dirinya maupun dunia sekitarnya. Mengingatkan kembali cita-cita Ki Hadjar Dewantara, membentuk pendidikan yang memanusiakan manusia, dan juga pemikiran-pemikiran Paulo Freire (1973) tentang pedagogi kritis. Harus ada yang tampil sebagai tokoh pergerakan mahasiswa, sehingga mampu membelajarkan masyarakat akan keadaan yang terjadi, dan menawarkan ide solutifnya
Pendidikan yang memungkinkan individu merefleksikan dirinya, tanggung jawab mereka dan peran mereka dalam konteks sosio-politiknya. Bukan sebuah pendidikan yang mengindoktrinasi, namun pendidikan yang emansipatoris. Melihat kembali bagaimana Indonesia mengaktualisasi pendidikannya, mempertegas makna dari kualitas pendidikan. Proses perkuliahan yang terbuka akan beragam permasalahan yang tak tampak di dalam kelas. Adanya hidden curriculum yang perlu diperhatikan. Pembelajaran memberikan ruang gerak kebebasan berekspresi dosen dan mahasiswa di dalam dan luar kampus untuk mengeksplorasi dan refleksi diri keadaan masyarakatnya secara kritis dan objektif.
Harapan bersama hoaks yang ada dapat disikapi dengan arif dan bijaksana, karena sejatinya sejatinya demokratis juga bertanggung jawab. Perlunya kesadaran kritis kolektif yang mampu mencermati retorika politis, maupun populisme yang dilandasi politik identitas. Pendidikan tidak hanya menanamkan retorika toleransi yang dilandasi oleh solidaritas semu. Tetapi pendidIkan harus lahir dari cerminan masyarakatnya yang sejatinya merindukan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Perlu kembali kita mengingat sejarah bahwa pendidikan di Indonesia berakar pada gagasan-gagasan progresif menghantarkan dari keterbelengguan masa Penjajahan. Bangkit dari kalangan pribumi yang terdidik melakukan pergerakan. Pendidikan yang anti-feodalisme, anti-imperialisme, anti-kapitalisme Walaupun sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih menghormati Ki Hajar Dewantara sebagai bapak pendidikan, melihat keadaan pendidikan kita saat ini, minim akan nilai-nilai progresif, maupun kesadaran kritis dan bagaimana pendidikan masih sangat dikendalikan oleh narasi sosio-politik mereka yang berkuasa. Indonesia telah menyimpang jauh dari gagasan revolusionernya akan pendidikan yang emansipatoris.
Apa yang dimiliki masyarakat Indonesia saat ini, masih saja terkadang terjebak oleh berita Hoaks, dan minimnya narasi kesadaran kritis membangun bangsa. Adanya hanya berita dengan nuansa saling menghujat, berkelahi ide yang terkadang agak anarkis dan menyudutkan personal, bahkan tidak sedikit kita menyaksikan argumentasi yang tidak didasarkan data/informasi yang akurat Di sinilah butuh kehadiran mahasiswa sebagai poros yang mampu bergerak dan berpegang teguh pada kebebasan akademik, obyektif, lugas dan solutif.
Penutup
Denyut perubahan telah membawa peradaban menjadi ekstra-kompetetif. Kesadaran kritis mahasiswa menjadikan modal transformasi masyarakat. Pergerakan mahasiswa berelasi dengan bentuk partisipasi politik yang otonom karena konsep gerakan yang terbangun akan menjadi lebih murni. Sekali lagi kesadaran kritis mahasiswa menjadi sesuatu yang urgen untuk diberikan ruang ekspresi. Untuk itu perlunya reorientasi perguruan tinggi, agar tidak terseret hanya pemenuhan kebutuhan lapangan pekerja saja. Permasalahan dan tantangan bangsa yang dihadapi perlu terbangun kesadaran kritis mahasiswa sebagai salah satu modal transformasi masyarakat menuju Indonesia Maju. Pemerintah diharapkan mampu memberikan ruang pergerakan mahasiswa untuk andil berperan memajukan Indonesia Perlu tersedia waktu dan ruang mengekspresikan kebebasan berpikir dan bertindak mahasiswa untuk andil dalam pergerakan Indonesia Maju. Jika bingkai kebebasan berpikir hilang dalam arena kampus, maka hilang pula kesempatan mahasiswa untuk berkontribusi maksimal. Akhirnya menyambut baik kebijakan yang memperbolehkan di area kampus diberikan ruang untuk mengekspresi ide untuk berpartisipasi berpolitik yang santun. (MW Feb 2023)